BILA aku pandang dari alam rahim seorang ibu, aku bisa melihat, mendengar dan merasakan. Akan tetapi aku melihat meminjam mata ibuku.
Mendengar juga meminjam telinga ibuku dan untuk merasakan aku masih
juga meminjam alat perasa dari ibu yaitu lidah. Kadang ibuku merasa
kepingin yang sangat… sangat ingin, untuk makan buah yang
asem-asem, itu adalah keinginanku yang begitu menggebu-gebu akan suatu
hal. Ini dalam masyarakat kita disebut “ngidam”.
Disini dialam rahim ibuku terasa sangat
nyaman dan damai. Serasa semua kebutuhanku selalu terpenuhi karena
pikiranku mudah untuk kutransper kepada ibuku secara telepati. Ibu dapat
merasakan keinginanku. Sering aku mendengar ibuku berbicara padaku, “
anakku buah hatiku ibu pingin banget kau jadi anak yang kuat, sholeh dan
manis!” suara ibuku sangat lembut, sambil mengusap-usap perutnya.
Jawabku, ibu .. tolong jaga aku dari segala
hal yang buruk baik dari ucapan, tindakan maupun yang ibu makan, dari
segala hal yang buruk atau haram, mudah-mudahan aku jadi anak yang kuat sholeh
dan juga tampan.” Ucapku untuk meyakinkan ibuku.Aku juga sering
mendengar suara ayahku. Dengan suara berat ayah berkata, “jagoan ayah
lagi ngapain didalam?” aku hanya bisa merasa dan menjawab dalam hati,
“aku sedang bersama ayah dan ibu, damai banget disini yah!”
Tepat usiaku enam bulan di dalam kandungan,
aku mulai merasa agak kurang nyaman, mungkin tubuhku yang terus tumbuh.
Aku merasakan ibu mulai aktif untuk melakukan berbagai kegiatan-kegiatan
seperti jalan sehat setiap pagi bersama ayah dan juga olah raga ringan
lainnya. Ibu punya keyakinan dengan banyak aktifitas mudah-mudahan aku
bisa keluar dengan lancar nantinya.
Menjelang usiaku genap delapan bulan dalam kandungan ibu tidak banyak lagi memakan asupan-asupan yang banyak mengandung lemak dan membatasi juga minum obat-obatan,
yang seharusnya tidak dilanggar karena itu adalah saran dokter. Tetapi
ibuku takut anak yang dikandung didalam rahim akan tumbuh jadi sangat
besar, ini bisa-bisa mempersulit proses kelahiranku. Untuk antisipasi
ibu banyak memakan sayur-sayuran sehat seperti kentang salah satunya
juga memperbanyak makan buah-buahan dan susu kedelai yang sangat
diyakini ibu merupakan asupan yang sangat penting untuk kulit dan otakku
agar aku jadi anak yang sehat plus pintar.
Pernah sekali aku mengalami guncangan yang sangat hebat, aku rasa ibu terjatuh akibat lantai yang licin didalam rumah. Tetapi ibuku rupanya orang yang kuat, ibu mencoba bangkit walaupun terkesan lambat bagiku, tetapi tiba-tiba aku merasa ibu kok dapat
bangkit begitu cepat, ternyata ibuku dibantu oleh ayah yang datang
tiba-tiba karena mendengar ibuku jatuh. Ayahku rupanya sangat panik “ Aduh… gimana ibu gak apa-apakan, hati-hati dong bu?” Tanya ayahku penuh selidik. “ gak apa-apa yah ibu cuma merasa pegal banget, ayah gak perlu kuatir nanti juga hilang sakitnya,” jawab
ibu meyakinkah ayah. “Apa perlu ayah hubungi dokter Budi untuk
memeriksa kondisi ibu?” Perlu diketahui dokter Budi adalah dokter
keluarga kami, sekaligus teman ayah mereka sama-sama satu lokal di SMA
Panca Budi. “Gak usah yah ah.. nanti malah ibu kena suntik lagi,
ibu paling alergi dengan jarum suntik,” jawab ibu penuh ketakutan. “
Okelah bu, sekarang ibu istirahat dikamar ya?” sambil membopong ibu
kekamar dengan sangat hati-hati ayah membantu ibu naik ketempat tidur
maklum tempat tidur kami agak tinggi peninggalan kakek dan nenek.
Didalam rahim ibu aku merasa, begitu sangat indah hubungan ayah dan
ibuku penuh dengan kasih sayang dan cinta kasih yang begitu tulus mungkin karena demi anak pertama mereka yaitu aku.
***
Waktu ternyata berjalan amat lambat sampailah
usiaku di angka Sembilan bulan dalam kandungan. Aku merasa ukuran
tubuhku begitu besar dan terasa sangat sempit di dalam sini, tetapi aku
berusaha untuk bersabar. Aku harus jadi anak yang tangguh dan kuat, yang
bisa jadi kebanggaan kedua orang tuaku kelak di kemudian harinya.
Waktu terus merangkak rasaku waktu agak
terseok-seok. Detik berlari-lari kemudian berkumpul menjadi menit, menit
rasaku gak secepat detik langkahnya sangat lambat sampai akhirnya
berkumpul dalam satu jam, dua jam teruuuuuuuus berlalulah hari ke satu,
dua, tiga dan seterusnya. Tepat hari kesembilan aku yang berada di rahim
ibuku seakan-akan mengalami kontraksi-kontraksi yang menekan tubuhku
untuk keluar sedikit demi sedikit, tetapi aku terhalang oleh
lapisan-lapisan yang amat tipis. Diluar itu ibu merasa sangat perih dan
mengaduh sambil sesekali memegang perutnya yang sangat besar. “ayah….
Kemari yaaah!!! Aduh… perih sekali ujar ibuku dengan wajah yang meringis
menahan sakit. Ayah datang setengah berlari. “Bu sepertinya udah
saatnya, ayo ayah tuntun kita segera kerumah sakit!” ayah menuntun ibu
dengan hati-hati menuju mobil. Rupanya pak Parmin sopir kami sudah sigap
dia membuka pintu dan segera menghidupkan mesin, “kita ke Gleaneagles
kan pak?” serunya dengan napas tertahan. “Ya pak, tapi hati-hati jangan
terlalu ngebut.” Ujar ayahku mengingatkan.
Sampai di rumah sakit, rupanya dokter Budi
telah datang tentunya sebelumnya telah dihubungi ayah. Dokter Budi
mengawal kami sampai diruang bersalin, dan mengenalkan kami dengan
dokter Handoko yang khusus akan menangani kelahiranku. Beliau dokter
lulusan luar negri, tetapi kelihatan masih muda dan sangat rapi tampa
kaca mata kalau digambarkan sosok beliau mirip Superman yang ada di
film. Dengan ramah beliau berkata pada ayah “percayakan kepada saya
untuk menangani kelahiran anak bapak dan istri bapak!” serunya dengan
suara mantap. “Terima kasih dok, saya percaya sama dokter karena saya
udah banyak mendengar prestasi dokter dan kualifikasi dokter dari dokter
Budi.” Ujar ayahku penuh keyakinan. “Baiklah saya coba
untuk mengecek kondisi ibu Sulastri dulu ya?” ucap dokter kepada ayah
sambil mempersiapkan alat pendeteksi nafas dan alat
pengukur tekanan darah juga tak ketinggalan senter kecilnya. Setelah
diperiksa dokter Handoko permisi sebentar dan berpesan pada ayah “Pak
Surya tak usah sungkan kalau ada apa-apa kasih tau suster saya, saya
akan datang!” sambil menunjuk suster yang akan menemani ibu. “Baik dok
terima kasih.”
Bisa aku rasakan detak jantung ibu yang
semakin cepat, sepertinya ibuku gugup banget maklumlah ini adalah
kelahiran anak pertamanya yaitu aku. Seiring waktu terus bergulir aku
semakin terdesak keluar akibat kontraksi yang begitu kuat. Ibu serasa
tidak tahan lagi dan sambil merintih dengan suara sedikit tertahan
memandang ayah dan berkata “Panggil saja …, dokternya yah!, ibu gak
tahan lagi sepertinya hampir keluar!! Dengan buru-buru ayah menghubungi
suster, lalu suster dengan segera memanggil dokter. Dengan terburu-buru
dokter Handoko melangkah dan memerintahkan kepada tiga orang susternya
untuk menyiapkan alat-alat yang di butuhkan untuk melahirkan. Dengan
setia ayah mendampingi ibu sambil memegang tangan ibu, ayah selalu
memberi semangat kepada ibu untuk tetap berusaha tampa putus asa. Bisa
aku rasakan betapa keras perjuangan ibuku, seperti pejuang fisabilillah
ibuku meregang-regang sekuat tenaga. “ dorong terus…sedikit lagi bu,
kepala anaknya udah kelihatan,” ujar dokter meyakinkan ibu. Akhirnya
dengan teriakan yang panjang dan sedikit tertahan, Akhhhhh…., akhirnya
dirikupun meluncur keluar disertai air ketuban dan darah yang
mngucur,berrrrr…..”Alhamdulillah, anak bapak dan Ibu laki-laki yang
sehat!” ujar dokter dengan bangga. Sebaik keluar aku menjerit
sejadi-jadinya oek…oek…oek, dengan cekatan ayah menggendongku dan sesuai
syari`at agama Islam, ayah mengumandangkan adzan dikuping sebelah
kananku. Begitu nyaringnya ayah melantunkan takbir, syahadat dan
diakhiri kumandang Iqomah dikuping sebelah kiriku serasa menembus hati
dan menghujam jantungku kalam Ilahi yang begitu agung. Ibu juga
menyempatkan diri untuk melihatku dengan tatapan matanya yang
berkaca-kaca menahan rasa haru dan gembira, seakan-akan semua
pengorbanan baik darah dan keringat yang mengucur deras sudah lunas
terbayar dengan kelahiran seorang bayi yang montok dan menggemaskan.
Kemudian aku dibawa keruangan inkubator untuk
menjaga suhu tubuhku untuk selalu dalam kondisi terjaga dan hangat.
Setelah satu hari baru aku dibawa suster untuk dipertemukan dengan orang
yang sangat agung dalam hidupku Ibuku. Dengan senyuman yang merekah
Ibuku menggendongku dan mulai menciumku selanjutnya memberiku ASI
ekslusive, yang sangat nikmatnya. Beberapa menit kemudian kamar VIP rumah
sakit tempat kami menginap mulai dikunjungi sanak saudaraku baik dari
nenek dan kakek juga om-omku, mereka semua memandangku dengan kagum dan
senyuman. Aku hanya bisa berkata dalam hati Alhamdulillah, terima kasih
atas semua nikmat yang telah Kau berikan Tuhan dalam hidupku. (*)